Kebudayaan
Kebudayaan
Wilayah Kabupaten Raja Ampat merupakan suatu wilayah
yang sangat unik dengan rangkaian pulau-pulau baik besar maupun kecil,
yang sangat mempengaruhi baik keadaan bahasa dan penuturnya maupun juga
budaya dan sistem sosial yang dianut oleh masyarakat di kawasan ini.
Selain itu, kawasan ini merupakan daerah perbatasan antara
kelompok-kelompok bahasa dan budaya di sebelah barat, yaitu kelompok
bahasa dan budaya di Kepulauan Maluku dan kelompok-kelompok bahasa dan
budaya di Papua.
Dengan kondisi geografis, yang merupakan wilayah
kepulauan dan wilayah paling barat dari rangkaian kepulauan pulau besar
New Guinea, Kepulauan Raja Ampat menjadi daerah yang secara antropologis
dan linguistis merupakan daerah yang mendapat sebutan keragaman (an
area of diversity). Istilah keragaman ini sangat tepat dipakai untuk
menggambarkan situasi budaya dan bahasa yang merupakan perpaduan antara
budaya dan bahasa asli Raja Ampat dengan budaya dan bahasa yang dibawa
oleh pendatang-pendatang, baik dari wilayah lain di Papua maupun luar
Papua. Perpaduan budaya dan bahasa ini telah terjadi sejak berabad-abad
lalu.
Penyebaran Bahasa-Bahasa di Raja Ampat
Dari survei yang dilakukan, bahasa-bahasa Raja Ampat dapat dikelompokkan sebagai berikut:
-
Bahasa Ma’ya; yaitu bahasa yang digunakan
oleh masyarakat suku Wawiyai (Teluk Kabui), suku Laganyan (Kampung
Araway, Beo dan Lopintol) dan suku Kawe (Kampung Selpele, Salio, Bianci
dan Waisilip). Mereka menggunakan satu bahasa yang terdiri dari beberapa
dialek, yaitu dialek Wawiyai, Laganyan, dan Kawe.
-
Bahasa Ambel (-Waren); yaitu bahasa yang
digunakan oleh penduduk yang mendiami beberapa kampung di timur Teluk
Mayalibit, seperti Warsamdin, Kalitoko, Wairemak, Waifoi, Go, dan
Kabilol, serta Kabare dan Kapadiri di Waigeo Utara.
-
Bahasa Batanta. Bahasa ini digunakan oleh
masyarakat yang mendiami sebelah selatan Pulau Batanta, yaitu penduduk
Kampung Wailebet dan Kampung Yenanas.
-
Bahasa Tepin. Bahasa ini digunakan oleh
penduduk di sebelah utara ke arah timur Pulau Salawati, yaitu penduduk
di Kampung Kalyam, Solol, Kapatlap, dan Samate, dengan beberapa dialek
yaitu, dialek Kalyam Solol, Kapatlap dan Samate.
-
Bahasa Moi. Bahasa ini adalah bahasa yang
digunakan oleh penduduk di Kampung Kalobo, Sakabu, dan sebagian Kampung
Samate. Bahasa Moi yang dipakai di Salawati merupakan satu dialek bahasa
Moi yang berasal dari daratan besar sebelah barat wilayah Kepala
Burung, yang berbatasan langsung dengan Selat Sele.
-
Bahasa Matbat. Istilah Matbat merupakan nama
yang diberikan untuk mengidentifikasikan penduduk dan bahasa asli Pulau
Misool. Orang asli Misool disebut orang Matbat dan bahasa mereka
disebut bahasa Matbat. Penduduk yang merupakan penutur asli bahasa
Matbat ini tersebar di Kampung Salafen, Lenmalas, Atkari, Folley,
Tomolol, Kapatcool, Aduwei, dan Magey.
-
Bahasa Misool. Sebutan ini diberikan oleh
penduduk Misool yang berbahasa Misool sendiri. Bahasa Misool ini berbeda
sekali dengan bahasa Matbat. Orang yang menggunakan bahasa Misool ini
dipanggil dengan sebutan Matlou oleh orang Matbat, yang berarti orang
pantai. Orang Misool yang menggunakan bahasa Misool pada umumnya
beragama Islam, yang tersebar di Kampung Waigama, Fafanlap,
Gamta,Lilinta, Yelu, Usaha Jaya, dan Harapan Jaya. Bahasa ini juga
digunakan oleh beberapa kampung Islam di Salawati seperti Sailolof
kampung Islam, dan Samate.
-
Bahasa Biga. Bahasa ini adalah salah satu
bahasa migrasi yang berada di sebelah tenggara Pulau Misool, yang
digunakan oleh penduduk yang mendiami Kampung Biga di tepi Sungai Biga
(Distrik Misool Timur Selatan). Penduduk dan bahasa ini diperkirakan
bermigrasi dari Pulau Waigeo, yaitu dari Kampung Kabilol, yang berbahasa
Ambel. Peneliti perlu mengadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui
apakah bahasa Biga memiliki kemiripan dengan bahasa Ambel.
-
Bahasa Biak. Bahasa Biak di Raja Ampat
merupakan bahasa yang bermigrasi dari Pulau Biak dan Numfor bersamaan
dengan penyebaran orang Biak ke Raja Ampat. Bahasa Biak ini dibagi
menjadi beberapa dialek, yaitu Biak Beteu (Beser), Biak Wardo, Biak
Usba, Biak Kafdaron, dan Biak Numfor.
-
Bahasa-bahasa lain. Dengan arus migrasi
penduduk dari Kepulauan Maluku dan wilayah bagian barat lainnya, maka
terdapat juga beberapa bahasa yang dipakai oleh penduduk pendatang di
Raja Ampat seperti bahasa Ternate, Seram, Tobelo, Bugis, Buton, dan
Jawa. Bahasa-bahasa ini merupakan bahasa-bahasa minoritas karena
penuturnya tidak terlalu banyak.
Lingua Franca di Raja Ampat
Sejarah Raja Ampat menunjukan bahwa bahasa Biak dan
Melayu telah lama digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari antar
suku di Raja Ampat, terutama di bagian utara wilayah Raja Ampat.
Penggunaan bahasa Biak sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (lingua
franca) di kawasan ini ditunjang dengan penyebaran suku dan bahasa Biak
yang dominan di wilayah pesisir dan pulau-pulau dari Pulau Waigeo di
utara sampai ke Pulau Salawati dan Kofiau di selatan. Sedangkan bahasa
Melayu Papua merupakan bahasa komunikasi yang paling umum dipakai dalam
aktifitas setiap hari di wilayah Raja Ampat.
Dalam sejarah peradaban di Raja Ampat, bahasa Melayu
Papua memainkan peran bukan saja sebagai bahasa pengantar yang digunakan
setiap saat, tetapi juga untuk mempererat hubungan antar semua kelompok
suku dan juga sebagai bahasa komunikasi dengan kelompok suku di wilayah
lain di luar Raja Ampat. Sampai sekarang kedua bahasa ini masih
digunakan sebagai lingua franca, meskipun bahasa Melayu Papua sangat
dominan dibandingkan dengan bahasa Biak.
Klasifikasi dan Penyebaran Budaya di Raja Ampat
Kebudayaan masyarakat Raja Ampat dapat
diklasifikasikan berdasarkan penyebarannya di pulau-pulau besar dan
pulau-pulau kecil sekitarnya. Adapun klasifikasinya sebagai berikut:
-
Pulau Waigeo. Pulau Waigeo dan sekitarnya
didiami oleh beberapa suku atau sub suku yang dikelompokan ke dalam
suku-suku asli dan suku-suku pendatang.
A. Suku Wawiyai (Wauyai) Kelompok
suku Wawiyai merupakan kelompok suku yang mendiami wilayah sebelah
utara Teluk Kabui di Waigeo Selatan. Dalam survei ditemukan bahwa suku
ini hanya mendiami satu kampung yaitu Kampung Wawiyai. Namun, kelompok
suku Wawiyai yang mempunyai garis keturunan langsung dengan sejarah
Wawiyai adalah penduduk yang mendiami Pulau Friwen, yang disebut orang
Wawiyai Man mon.
B. Suku Kawe Kelompok
suku Kawe merupakan kelompok suku asli di Waigeo yang mendiami wilayah
sebelah barat Pulau Waigeo. Kelompok suku ini bermukim di Kampung Salio,
Selpele, Waisilip, dan Bianci. Kampung Selpele dan Salio masih
merupakan daerah yang dominan dengan suku Kawe sedangkan Bianci dan
Waisilip sudah merupakan kampung-kampung yang heterogen dan populasi
orang Kawe sangat sedikit.
C. Suku Laganyan
Kelompok
suku Laganyan merupakan penduduk asli Pulau Waigeo yang mendiami tiga
kampung di sekitar Teluk Mayalibit, yaitu Kampung Araway, Lopintol dan
Beo.
D. Suku Ambel (-Waren)
Wilayah Pulau
Waigeo yang merupakan wilayah ulayat suku Ambel terletak di sebelah
timur ke utara Teluk Mayalibit dan pantai utara Pulau Waigeo.
Kampung-kampung yang merupakan daerah permukiman suku ini adalah
Kabilol, Go, Waifoi, Wairemak, Kalitoko, dan Warsamdin (di Teluk
Mayalibit), Kabare dan Kapadiri (di Waigeo Utara). Penduduk di Kampung
Warsamdin di muara Teluk Mayalibit dan Kampung Kabare di Waigeo Utara
telah bercampur dengan penduduk dari suku Biak.
E. Suku Biak Penduduk
suku Biak merupakan penduduk yang bermigrasi ke Kepulauan Raja Ampat
dari Pulau Biak dan Numfor di wilayah Teluk Cenderawasih (Teluk
Geelvink), sebelah timur dari Kepulauan Raja Ampat. Mereka bermigrasi
dalam beberapa periode waktu dan sejarah, bermula dari pelayaran hongi
dan pembayaran upeti kepada Sultan Tidore/Ternate, kemudian disusul
dengan perjalanan kelompok suku Biak mengikuti arah perjalanan Koreri
(Manarmaker) dalam legenda kepercayaan tradisional orang Biak. Migrasi
yang terakhir diperkirakan terjadi pada tahun-tahun akhir pemerintahan
Belanda (sekitar tahun 1950-an). Penduduk suku Biak pada umumnya
mendiami wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau di Waigeo, yaitu seluruh
Kepulauan Ayau (Kampung Dorekar, Yenkawir, Meosbekwan, Rutum dan Reni),
Waigeo Utara (Kampung Rauki, Bonsayor, Kabare, Andei, Asukweri, Boni,
Warwanai, dan Mnier), Waigeo Timur (Kampung Puper, Yenbekaki,
Urbinasopen, Yensner), Waigeo Selatan (Kampung Saonek, Saporkren,
Yenbeser, Yenwaupnor, Sawinggrai, Kapisawar, Yenbuba, Yenbekwan,
Sawandarek, Kurkapa, Arborek, Kabui). Di wilayah Waigeo Barat, penduduk
suku Biak mendiami kampung-kampung seperti, Bianci, Mutus, Meos
Manggara, Manyaifun, Safkabu dan Fam di Kep. Fam. Juga, suku Biak
tersebar sampai ke Pulau Gag. Kelompok suku Biak ini dibagi lagi menjadi
beberapa sub suku, yaitu Biak Beteu (Beser), Biak Wardo dan Biak Usba.
F. Suku-suku lain
Kelompok
suku lain yang secara historis mempunyai hubungan dengan Raja Ampat
adalah kelompok suku Tidore, Ternate, Seram dan suku lain di Kep.
Maluku. Kelompok yang bermigrasi kemudian adalah kelompok suku Bugis dan
Buton, diikuti oleh Jawadan lain-lain.;
-
PulauBatanta
A. Suku Batanta
Kelompok
suku ini diperkirakan merupakan penduduk asli Pulau Batanta. Suku
Batanta mendiami wilayah selatan Pulau Batanta yaitu Kampung Wailebet
dan Yenanas yang terletak di Selat Sagawin berhadapan dengan Pulau
Salawati.
B. Suku Biak
Mayoritas
penduduk di bagian utara ke arah timur Pulau Batanta berasal dari suku
Biak. Penduduk di hampir seluruh kampung-kampung di wilayah ini
berbahasa dan berbudaya Biak. Kampung-kampung tersebut adalah Yensawai,
Arefi, Amdui dan sebagian Yenanas. Kelompok suku Biak di Batanta ini
disebut Biak Kafdaron. Secara historis, orang Biak Kafdaron adalah
kelompok yang bermigrasi ke Pulau Batanta mengikuti jejak perjalanan
legenda Koreri (Mansar Manarmaker) dari Pulau Biak ke arah barat.
C. Suku-suku lain
Kelompok
suku lain yang bermukim di Pulau Batanta berasal dari pulau besar New
Guinea dan Maluku, tetapi populasinya tidak banyak kecuali mereka yang
bekerja pada perusahaan siput dan pegawai pemerintah.
-
Pulau Salawati
A. Suku Tepin
Suku
Tepin merupakan suku asli Salawati yang mendiami pesisir utara Pulau
Salawati. Mereka mendiami Kampung Kalyam dan Solol di Selat Sagawin.
Bahasa yang digunakan disebut bahasa Tepin.
B. Suku Fiat, Domu, Waili dan Butlih
Kelompok
suku-suku ini adalah kelompok suku-suku kecil yang merupakan suku-suku
asli Pulau Salawati, yang mendiami daerah Samate, Kapatlap, Kalobo dan
Sakabu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Tepin dengan variasi dialek
di setiap suku. Meskipun demikian, setiap suku menyebut bahasa mereka
menurut nama suku mereka.
C. Suku Moi (Moi-Maya)
Kelompok
suku Moi, atau sering disebut dengan istilah Moi-Maya atau Moi-Pantai
yang mendiami sebelah timur Pulau Salawati diperkirakan bermigrasi dari
dataran besar Kepala Burung sebelah barat, yang merupakan wilayah suku
Moi. Hal ini sangat mungkin karena wilayah timur Pulau Salawati ini
berhadapan langsung dengan dataran Kepala Burung itu dan hanya dibatasi
oleh Selat Sele. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Moi.
D. Suku-suku Lain
Kelompok
suku lain yang mendiami Pulau Salawati adalah suku-suku pendatang
seperti suku Biak, Jawa, Ternate, Tidore, Tobelo, Seram, Bugis dan
Buton. Mereka tersebar di kampung-kampung di Pulau Salawati seperti
Kalyam, Solol, Samate, Kapatlap, Kalobo dan Sakabu.
-
Pulau Misool
A. Suku Matbat
Suku
Matbat merupakan suku asli Pulau Misool, yang pada awalnya mendiami
daerah pegunungan. Mereka diperkirakan turun dan membuat perkampungan
di wilayah pesisir pada masa pemerintahan Belanda sekitar tahun
1940-1950. Mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam dan meramu
sagu. Tetapi sekarang telah terjadi pergeseran mata pencaharian. Mereka
mulai menjadi nelayan meskipun bukan sebagai mata pencaharian utama.
Kelompok suku Matbat ini dapat ditemui di Kampung Salafen, Atkari,
Lenmalas, Folley, Tomolol, Kapatcool, Aduwei, dan Magey.
B. Suku Misool
Kelompok
suku Misool adalah kelompok suku yang bermigrasi ke Pulau Misool
sekitar 100 tahun lalu dan merupakan kelompok suku yang telah mengalami
percampuran etnis sekian lama sehingga membentuk suatu komunitas suku
dengan identitasnya sendiri. Kelompok ini diperkirakan berasal dari
Pulau Waigeo, yang oleh beberapa ahli disebut dengan kelompok suku Maya
baik orang maupun bahasanya, tetapi mereka juga telah mengalami
percampuran dengan kelompok suku dari Kepulauan Maluku seperti Seram,
Tobelo, Tidore, dan Ternate. Hal ini dapat dilihat dari bentuk fisik
penduduk suku ini, dan juga dari sejarah suku Misool sendiri. Orang
Matbat memanggil orang dari suku Misool dengan sebutan Mat Lou, yang
berarti ‘orang pantai’. Bahasa yang digunakan disebut bahasa Misool.
Kampung-kampung yang merupakan tempat tinggal suku Misool adalah
Waigama, Lilinta, Fafanlap, Gamta, Yellu, Harapan Jaya, Usaha Jaya. Pada
umumnya perkampungan suku Misool sedikit lebih besar dari perkampungan
suku Matbat dan jumlah penduduknya juga sedikit lebih banyak dari jumlah
penduduk perkampungan suku Matbat.
C. Suku Biga
Suku
Biga adalah satu kelompok suku yang berasal dari Waigeo yang bermigrasi
ke Pulau Misool. Kelompok suku ini mendiami Kampung Biga di pinggiran
Sungai Biga, yang berarti ‘tempat sagu’.
D. Suku Biak
Suku
Biak yang mendiami beberapa kampung di Pulau Misool adalah suku Biak
dari sub suku Biak Beteu (Beser). Mereka mendiami Kampung Pulau Tikus,
Solal, Wejim dan Satukurano.
E. Suku-suku lain
Suku-suku
lain yang mendiami pulau Misool adalah pendatang dari Seram, Tobelo,
Ternate, dan Tidore. Selain itu, pendatang baru di pulau ini adalah
penduduk dari Buton, Bugis, Ambon, Jawa, dan lain-lain.
-
Pulau Kofiau.
Distrik Kofiau yang
terdiri dari beberapa pulau umumnya dihuni oleh penduduk dari suku Biak,
sub Suku Biak Beteu (Beser). Suku ini mendiami Kampung Deer, Dibalal
dan Tolobi.
Hubungan Bahasa dan Budaya
Bahasa dan budaya adalah dua unsur integral yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan setiap orang. Setiap orang, mau
tidak mau, dilahirkan dalam lingkungan suatu bahasa dan budaya tertentu.
Setiap suku di Raja Ampat cenderung menyatakan identitas suku dan
bahasa mereka sesuai dengan nama kelompok suku tersebut. Satu contoh,
setiap kelompok suku berusaha menyebutkan bahasa yang digunakan dengan
nama suku tersebut, meskipun di sisi lain mereka menyatakan bahwa bahasa
yang mereka gunakan juga dipakai di kampung lain atau di pulau lain.
Fenomena ini merupakan hal biasa. Setiap suku selalu berusaha
mengidentifikasi keberadaan mereka kepada kelompok lain sehingga jati
diri mereka juga diakui dan dihargai oleh kelompok lain.
Kelompok-kelompok suku di Raja Ampat juga selalu
selalu menamakan wilayah mereka menurut bahasa mereka sendiri. Di Raja
Ampat ditemukan bahwa sebuah tempat, baik itu gunung, tanjung, teluk,
pulau dan lainnya, memiliki nama yang berbeda-beda menurut kelompok suku
yang tinggal di sekitar wilayah itu. Satu contoh adalah penamaan
pulau-pulau di wilayah Waigeo. Nama yang tertulis dalam peta dan juga
yang dipakai sekarang oleh masyakarat di kawasan ini, berasal dari
bahasa Biak. Akan tetapi, penduduk asli seperti orang Wawiyai yang
mempunyai hak ulayat di wilayah Waigeo Selatan, menyebut pulau-pulau
tersebut dengan nama tersendiri sesuai dengan bahasa mereka.
Situasi yang sangat menarik terlihat pada bahasa dan
budaya di sekitar Teluk Mayalibit, Pulau Misool dan Pulau Friwen. Bagian
dalam Teluk Mayalibit didiami oleh dua kelompok suku yaitu suku
Laganyan di bagian barat dan suku Ambel di bagian timur ke utara. Orang
Laganyan bermukim di tiga kampung yaitu Araway, Beo dan Lopintol
sedangkan orang Ambel mendiami kampung-kampung seperti Kabilol, Go,
Waifoi, Wairemak, Kalitoko dan Warsamdin. Kedua suku ini secara
linguistis dan antropologis berbeda, meskipun secara geografis
perkampungan mereka tidak terlalu jauh satu sama lainnya. Tetapi tiga
kampung Laganyan ini adalah kampung Islam, disini telah terjadi
percampuran kebudayaan antara kebudayaan Laganyan dan Islam, terutama
menyangkut nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan hidup. Sedangkan
kelompok suku Ambel adalah penganut ajaran Kristen. Ajaran agama
Kristen juga telah mempengaruhi unsur-unsur budaya Ambel terutama pola
pikir, nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan hidup. Hal yang sama
terjadi di Pulau Misool. Seluruh perkampungan suku Matbat masih
menunjukan ciri-ciri perkampungan asli Papua sebagaimana yang terlihat
di Kampung Magey dan Aduwei. Sedangkan mayoritas perkampungan suku
Misool telah mencirikan perkampungan yang hampir sama dengan ciri-ciri
perkampungan di luar Papua, seperti di Kepulauan Maluku dan juga di
Sulawesi.
Type rumah Suku Misool di Waigama (Foto: Ucu Sawaki).
Type rumah Suku Matbat di Kampung Magey (Foto: Ucu Sawaki)
Type rumah Suku Biga di Sungai Biga (Foto: Ucu Sawaki)
Seluruh
orang dari suku Misool beragama Islam dan telah lama meninggalkan
sebagian adat dan kebiasaan suku. Sedangkan orang Matbat mayoritas
beragama Kristen dan masih mempertahankan adat istiadat mereka.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahasa yang digunakan oleh kedua penganut
kebudayaan yang berbeda ini, juga berbeda. Semua orang dari suku Misool
menggunakan bahasa Misool dan seluruh orang Matbat menggunakan bahasa
Matbat. Penduduk Matbat di lain pihak dapat menggunakan bahasa Misool
untuk berkomunikasi dengan suku tetangga mereka ini, tetapi orang Misool
tidak dapat menggunakan bahasa Matbat. Orang Biga dari suku Biga juga
mencirikan pola perkampungan, mata pencaharian dan kebiasaan hidup
lainnya yang sama dengan orang Matbat, yaitu mirip dengan kebudayaan
Papua. Meskipun demikian, kebudayaan Biga dan Matbat berbeda di banyak
segi. Bahasa kedua suku ini juga sangat berbeda.
Kelompok
masyarakat yang mendiami Pulau Friwen, sebagaimana telah dijelaskan,
adalah contoh tentang suatu keadaan di mana kebudayaan dominan, dalam
hal ini kebudayaan Biak, mempengaruhi kebudayaan minoritas, kebudayaan
Wawiyai. Penduduk Friwen adalah suku Wawiyai dari keturunan Wawiyai Man
mon. Mereka telah mengalami suatu perubahan budaya dan bahasa sehingga
sekarang kebudayaan mereka didominasi oleh kebudayaan dan bahasa Biak.
Hal-hal ini terjadi selain karena sejarah suku Wawiyai yang berada di
Friwen, juga karena faktor-faktor ekonomi dan sosial. Yang menjadi
sangat menarik adalah Kampung Friwen berjarak tidak terlalu jauh dari
Kampung Wawiyai, satu-satunya kampung orang Wawiyai di utara Teluk Kabui
dan merupakan kampung asal orang Wawiyai Friwen. Tetapi orang Wawiyai
di Kampung Wawiyai masih menggunakan bahasanya dengan fasih dan menjaga
kebudayaan mereka dengan sangat baik.
Fenomena hubungan bahasa dan
budaya di Kepulauan Raja Ampat sangat menarik karena Raja Ampat
merupakan tempat dimana beberapa kebudayaan dan bahasa bertemu dan
saling mempengaruhi. Ada kelompok suku yang tetap mempertahankan budaya
dan bahasanya, ada juga yang menggabungkannya, dan ada yang sama sekali
beralih ke kebudayaan dan bahasa kelompok suku lain.